mari bersama membangun gerakan .: Menciptakan Pemilu Jujur Dengan Adilnya Pendataan Pemilih
KESATUAN AKSI MAHASISWA MUSLIM INDONESIA DAERAH KALIMANTAN TIMUR2008

Jumat, 22 Februari 2008

Menciptakan Pemilu Jujur Dengan Adilnya Pendataan Pemilih


Persoalan data pemilih merupakan salah satu pemicu terbesar dari muncunyal reduksi nilai demokrasi dalam pilkada, seperti kekerasan, kerusuhan, perkelahian massal dll. Persoalan data pemilih selama Pilkada muncul dalam beberapa faktor.
Pertama, tidak akuratnya data awal dari dinas catatan sipil, dalam hal ini pihak pemerintah terkait dengan upaya dukungan data Pemilih Penduduk Potensial Pemilih Pilkada (DP4) yang akan diserahkan ke KPU untuk dumutakhirkan menjadi DPS dan akhirnya menjadi DPT.
Seperti kasus yang muncul pada Pilkada Sulsel beberapa waktu yang lalu, umumnya pihak Catatan Sipil (Capil) atau Biro Dekonsentarsi menyerahkan data yang masih mentah. Akibatnya, ketidakuratan itu menjadi agenda berat bagi KPU, karena harus melakukan verifikasi ulang dan memungkinkan mengganggu agenda pilkada lainnya. Selain itu, kurang maksimalnya data DP4 dari dinas capil mengkibatkan masih banyak warga yang seharusnya sudah memiliki hak pilih, namun tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), meskipun pada pemilu Legislatif dan pemilu Presiden dan wakil Presiden nama mereka terdaftar dalam DPT. Kasus pada
Pilkada Cilegon misalnya, 350 orang tidak terdaftar. Resiko lainnya yang muncul akibat tidak maksimalnya proses pendataan awal adalah terdapat perbedaan signifikan dalam jumlah pemilih dibandingkan dengan jumlah pemilih pada saat pemilu legislatif maupun pemilu presiden 2004 lalu. Kondisi ini sering membuka dua kemungkinan, pertama, banyak warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih, padahal sebelumnya terdaftar. Kedua, banyak muncul
kartu pemilih ganda Tidak maksimalnya hasil dan format DP4 dari capil dapat dipicu oleh beberapa faktor, yakni kelalaian petugas yang melakukan verfikasi dan pemutakhiran data atau kelalaian dari warga sendiri. Meskipun dugaan kesengajaan ini sudah ditepis oleh pihak Perusahaan TI yang bersangkutan dan Pihak Pemprov Sulsel. Selain faktor adanya pihak ketiga, carut marut soal DP4 juga ditengarai akibat tidak maksimalnya kerja Capil selaku pihak pemerintah. Tidak maksimalnya Capil diduga bukan hanya murni karena persoalan tekhnis, namun akibat adanya ”intervensi” atasan yang kebetulan maju sebagai kandidat dalam Pilkada (Incumbent). Kasus tidak maksimalnya kerja birokrasi dalam pilkada akibatnya majunya incumbent yang notabene masih atasan menjadi cerita yang lazim dalam pilkada. Sehingga memperburuk nilai akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan Pilkada.
Faktor kedua yang menjadi pemicu dalam proses kacaunya data pemilih adalah terbatasnya waktu yang tersedia bagi tahapan Pendaftaran dan penetapan pemilih. Kasus Pilkada DKI misalnya, dalam surat Keputusan KPUD DKI Nomor 01 tahun 2007 perihal Tahapan dan Program pelaksanaan Pilkada DKI, hanya tersedia waktu 37 hari untuk Tahapan Pendaftaran dan Penetapan Pemilih. Sedangkan masa krusial hanya tersedia waktu 19 hari, yakni sejak masa Penyampaian Pemberitahuan telah Terdaftar sebaai Pemilih (tanggal 01 Juni 2007) sampai pada tahapan Penyusunan dan Penetapan Daftar Pemilih Tetap (tanggal 19 Juni 2007). Cukup singkat. Waktu 19 hari terasa cukup singkat karena dipicu oleh dua hal, terbatasnya atau tidak maksimalnya upaya sosialisasi KPUD beserta aparatnya untuk menyampaikan kepada warga agar mengecek statusnya sebagai calon daftar pemilih pilkada.
Biasanya media yang digunakan sosialisasi adalah papan pengumuman di kantor kelurahan setempat dan maksimal dimuat di media cetak. Faktor kedua adalah warga tidak memiliki perhatian yang serius untuk mengecek status diri, apakah sudah terdaftar atau belum. Dalam kasus ini, sebuah survey menarik oleh LP3ES bekerjasama dengan NDI diliris dalam rangka Audit data Pemilih Pilkada DKI pekan lalu. Survey LP3ES tersebut menyebutkan bahwa dari 5.131 total responden, ketika mereka ditanya seputar Pemahaman tentang status pendaftarannya, maka hanya 47 % yang menjawab merasa Terdaftar sedangkan 44 % merasa tidak terdaftar dan 9 % tidak menjawab. Mengapa jumlah warga yang merasa tidak terdaftar (bukan tidak terdaftar) cukup tinggi? Survey LP3ES ini kemudian mengungkapkan bahwa ketidaktahuan warga atas status dirinya diakibatkan kurang intensnnya warga mengecek data di DPS. Hanya ada 19 % responden yang merasa pernah mengecek namanya di DPS sedangkan 78,4 % warga tidak mengecek statusnya di DPS, lainnya 2, 5 % tidak menjawab. Artinya, persoalan data pemilih akhirnya akan menjadi persoalan krusial pada detik-detik terakhir sebelum penetapan DPT karena warga masih banyak yang merasa belum terdaftar. Hal ini disebabkan karena kurangnya informasi dan juga pasifnya warga mengecek status mereka.

Persoalan ketiga, meskipun sudah terdaftar sebagai pemilih tetap, namun banyak warga yang tidak memperoleh kartu pemilih dan atau kartu undangan. Kondisi ini dipicu oleh faktor tekhnis dan non tekhnis. Faktor tekhnis muncul ketika alamat yang terdaftar di DPT tidak sesuai dengan alamat sesungguhnya. Atau petugas tidak maksimal dalam proses distribusi kartu pemilih itu. Sejauh pengamatan kami, faktor non tekhnis juga muncul yakni ketika institusi yang bertugas mendistribusikan kartu undangan pemilih tidak netral atau memihak kepada salah satu calon. Apabila petugas tidak netral, maka kecil kemungkinan petugas tersebut akan membagikan kartu undangan kepada pihak atau warga yang tidak seafiliasi dengan pilihan politiknya. Sehingga sering muncul ada warga yang sudah meninggal, namun justru tercatat sebagai daftar pemilih dan memiliki kartu undangan. Selain itu, warga juga sering memperoleh dua kartu pemilih dengan alamat yang berbeda sehingga warga kebingungan menggunakan hak pilihnya. Fenomena munculnya kartu ganda atau kartu pemilih fiktif cukup dominan di beberapa Pilkada , seperti di Bukittinggi yang dilaporkan bahwa ada 15.973 kartu pemilih fiktif yang disita oleh KPUD Bukittinggi.

Mengapa tahapan pendataan Pemlih dalam pilkada menjadi tahapan yang paling urgen? Data yang kacau dalam pilkada seperti yang terurai di atas nantinya akan mengakibatkan agenda Pilkada lainnya memiliki potensi kecurangan dan berujung kepada konflik. Misalnya pada tahapan Pemungutan Suara. Pengalaman pilkada selama ini menunjukkan bahwa ketika pemutakhiran data pemilih tidak maksimal dan mengakibatkan banyaknya warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, maka kemungkinan besar terjadi protes ketika hari ”H”. Pada saat seperti ini , biasanya banyak warga yang protes ke kantor KPUD. Selain memunculkan protes, kurang validnya pemutakhiran data pemilih juga mengakibatkan rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilkada. Dari berbagai survey yang dilakukan oleh stakeholders yang terlibat dalam pemantauan Pilkada menunjukkan bahwa, dibanding dengan pemilihan legislatif maupun Pilpres 2004, maka Pilkada 2005 yang lalu misalnya memiliki skor tertinggi dalam konteks rendahnya partisipasi pemilih. Hal ini dapat dilihat dari hasil Pilkada di Surabaya yang mencapai angka 48, 59% warga Surabaya yang tidak memilih. Pilkada di Medan juga tergolog tinggi yakni, 45, 32 %. Penurunan angka partisipasi pemilih salah satunya dipicu oleh banyaknya warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih.

Realitas di atas menjadi catatan penting dalam pelaksanaan Pilkada yang akan dilangsungkan pada tahun 2008 ini. Ke depan, dalam pelaksanaan Pilkada, pihak KPUD perlu mempersiapkan dan memperbaiki sistem distribusi kartu pemilih dengan mengintegrasikannya sebagai bagian dari sistem pendataan pemilih. Hal yang ditegaskan di sini adalah independensi petugas distribusi kartu pemilih menjadi penting untuk menghindari hal-hal yang mencederai proses pilkada. Dalam hal ini perlu optimalisasi struktur/perangkat desa hingga tingkat RT/RW dalam proses pendataan dan pendaftaran pemilih serta pendistribusian kartu pemilih. Terakhir, perlu upaya yang berprinsip Simbosis Mutualis antara KPU dengan warga dalam proses pendataan Pemilih. Artinya di sisi lain KPU melaksanakan tugasnya melakukan pendataan pemilih , namun yang lebih penting lagi adalah apresiasi dan support warga untuk menyukseskan pendataan pemilih. Sehingga mampu meminimalisir laporan dan keluhan bahwa masih banyak warga yang tidak terdaftar sebagai pemlih.


Oleh :Johandri
Ka. Dept. Politik & Hub. Luar Negeri Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Kaltim dan Sekaligus Ketua Tim Pemantau KAMMI KALTIM

Tidak ada komentar: