mari bersama membangun gerakan .: Maulid, Umat, dan Momentum
KESATUAN AKSI MAHASISWA MUSLIM INDONESIA DAERAH KALIMANTAN TIMUR2008

Selasa, 25 Maret 2008

Maulid, Umat, dan Momentum

Rijalul Imam*

Peringatan maulid Nabi dapat dilihat dari berbagai dimensi. Setiap dimensi memiliki muatan hikmah tersendiri yang satu sama lain terpadu pada spirit kesadaran profetik-historis yang pemaknaannya berdampak, selain pada keimanan, juga pada perubahan di masa depan. Baik dilihat dari sosok Muhammad sebagai pribadi yang dilahirkan atau Nabi yang diutus. Begitu juga setting sosial, sejarah, dan posisi geografis Makkah sebagai medan awal pemunculan kerasulannya, tentu memberi muatan pesan yang kuat untuk disampaikan pada umat manusia mengenai kebenaran dan gerakan perubahan (dari kegelapan menuju cahaya).

Salah satu pemaknaan penting maulid Nabi ini ditinjau dari sudut momentum, yakni momentum pemunculan kepemimpinan bangsa. Setidaknya ada dua hal signifikan yang perlu diungkap. Pertama dimensi pilihan setting sosial-politik diturunkannya wahyu. Kedua, dimensi perubahan sosial dari gerakan kepemimpinan nabi.



Makkah-Madinah

Makkah adalah tempat perlintasan perdagangan negara-negara utara dan selatan di jazirah Arabia. Daerah perlintasan ini memungkinkan tidak adanya kekuatan politik dominan yang hegemonik. Semua suku terjamin dan memiliki hak yang sama dalam pengelolaan dan penjagaan wilayah Makkah, termasuk bila ada orang asing yang dijamin oleh salah satu suku tidak bisa diganggu oleh suku lainnya di sana. Tak terkecuali suku Quraisy. Dalam konteks setting sosial demikian wahyu diturunkan di tengah-tengah masyarakat yang egaliter. Dapat dimengerti masyarakat yang akan dibangun oleh wahyu di sini adalah masyarakat baru yang egaliter.

Masyarakat egaliter merupakan prasyarat yang harus dipenuhi bagi sebuah bangsa yang ingin bangkit. Tanpa egalitarianisme, masyarakat Islam sulit berkembang. Seandainya wahyu turun di India, tentu produk masyarakat Islam yang dilahirkan akan berkasta-kasta. Maka bagi sebuah bangsa,
seperti Indonesia ini, pasca jatuhnya orde baru yang hegemonik, bangsa ini harus mengembangkan sikap egalitarian yang suku satu dengan suku yang lain tidak dominan tapi saling menghormati dan bekerja sama.

Egalitarianisme dalam konteks umat, penting dikembangkan spirit ¡keakuan¢ dan ¡kekitaan¢. Keakuan adalah spirit substansial yang memperkokoh jati diri sebagai umat Islam. Umat Islam harus percaya diri dengan akidah, syariah, dan sistem peradaban yang dimilikinya di tengah-tengah hegemoni budaya, politik, dan ekonomi kapitalisme liberal yang mengarahkan pada dehumanisasi global. Sedangkan kekitaan adalah spirit kolektif yang memperkokoh persatuan kita sebagai bangsa, sebagai Indonesia. Identitas keindonesiaan penting dibangun karena hingga kini fakta politik umat Islam selalu terpinggirkan. Wacana (pengetahuan kolektif) masyarakat masih menganggap politik Islam sebagai partisan. Pertentangan politik identitas tidak lagi relevan. Sebab baik mereka yang mengklaim Islam maupun paling nasionalis, sama-sama muslimnya. Dimensi ¡aku¢ vis a vis ¡kamu¢ yang berhadapan perlu digantikan oleh dimensi ¡aku¢ dan ¡kita¢ agar umat ini dapat bekerja bergandegan tangan membangun Indonesia.



Suku Quraisy

Kendati pun konsep egalitarian demikian, dalam sebuah bangsa selalu ada satu suku yang ditinggikan keutamaannya. Dalam konteks Makkah, suku Quraisy mendapat legitimasi kuat untuk memimpin Makkah. Kelebihan kaum Quraisy ini terletak pada keturunan langsung Nabi Isma¢il dan mendapat amanah pemegang kunci pintu Ka¢bah turun temurun. Pasca Muhammad diangkat sebagai Rasulullah, legitimasi Quraisy semakin kuat. Terlebih Allah sendiri menyebut nama suku tersebut sebagai salah satu nama surah dalam al-Qur¢an.

Satu hal yang penting diapresiasi di sini adalah fakta mental-sosial kaum Quraisy memang memiliki keunggulan tersendiri yang membuat bangsa-bangsa lain menghormatinya, memberi keamanan pada mereka, dan menjamin keberlangsungan kehidupan mereka di negeri lain. Hal ini direkam dalam surah Quraisy tepatnya pada ayat empat. Dalam surah itu dijelaskan apabila mereka melakukan perjalanan ke Utara (Yaman) di musim dingin dan ke negara-negara Selatan (Syam) di musim panas, mereka mendapatkan jaminan keamanan dan makanan.

Yang membuat mereka mendapat jaminan internasional oleh bangsa-bangsa lain, seperti diungkap oleh Zamakhsyari dalam Tafsir Al-Kasyaf, adalah etos kerjanya. Lafadz ilaf dalam kitab-kitab tafsir diartikan sebagai kebiasaan. Yakni kebiasaan orang-orang Quraisy untuk melakukan perdagangan internasional lintas negara. Lebih lanjut Zamakhsyari menganalisis kedalaman kebiasaan perjalanan kaum Quraisy ini yang membedakan dengan kaum lainnya dari lafadz ilaf yang disebutkan dua kali secara berulang pada ayat satu dan dua. Menurutnya, kebiasaan kuat yang dimiliki kaum Quraisy terletak pada etos kerjanya yang tinggi. Hal inilah yang membuat suku Quraisy dihormati oleh bangsa-bangsa lain.

Dalam konteks kekinian, dapat dipahami kuatnya korelasi antara etos kerja dengan bangsa yang bermartabat. Para pekerja, mahasiswa, diplomat, birokrasi, pejabat Indonesia yang beretos kerja tinggi di dalam maupun yang sedang di luar negeri, tentu akan dihormati bangsa lain. Mereka akan mendapat jaminan keamanan dan tidak akan kelaparan di negeri orang. Dengan demikian, membangun bangsa yang besar harus dibangun dari kualitas etos kerja kita saat ini.

Dalam pemahaman setting lingkungan di atas, kaidah kepemimpinan menurut Nabi Muhammad mendapat legitimasi kebenarannya. Bahwa pemimpin besar selalu terlahir dari setting lingkungan yang besar. Maka tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa lingkungan masyarakat yang melahirkan Muhammad di Makkah adalah masyarakat jahiliyah yang pemalas. Kejahiliyahan masyarakat Makkah saat itu terletak pada aqidahnya yang menyimpang. Sedangkan kualitasnya sendiri sangat kompetitif dan bermartabat. Jadi kemunculan Islam dalam setting lingkungan yang dipilih Allah tersebut akan melahirkan para pemimpin besar.

Jadi, bagaimana kualitas etos kerja masyarakat saat ini, dipastikan akan berdampak pada kualitas pemimpin yang akan muncul di kemudian hari. Inilah tantangan umat Islam, sejauh mana kualitas yang telah dibangun, sejauh itu pula capaian pemimpin yang akan dihasilkan. Semoga momentum maulid Nabi menjadi titik peningkatan keimanan dan gerakan perbaikan bangsa.



Direktur ISCDIC

(Indonesian Student Community for Development of Islamic Civilization)

Tidak ada komentar: